Blog share Software ,tips-Trick Komputer dan artikel unik

Blog yang berisikan tips dan trik komputer , Share Software dan kumpulan artikel-artikel unik menarik

Tag Archives: Sufi

kekasih Allah – pembimbing Spiritual Part 2

Setiap makhluk membawa potensi kombinasi dari 99 nama-namaNya, termasuk pula para kekasih-Nya. Mengapa kita melabelkan pada diri kita sendiri bahwa ‘Kekasih Allah pastilah ramah, enak, baik, wangi, bersih, bla-bla-bla?’ Ada yang demikian, ada pula yang tidak.
Perhatikan Qur’an 25:20,

“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh-sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.”

Seharusnya ini cukup.
Sedangkan manusia terkadang sombong, merasa perlu malaikat atau mu’jizat untuk meyakinkan dirinya. Mereka menolak rasul yang ‘wajar’. Inginnya yang ‘malaikati’ atau ‘mukjizati’. Padahal jika dia tidak mengikuti pun, kemuliaan Allah sama sekali tidak akan berkurang. Allah tidak rugi apapun.
Pada QS 25:7,

“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?”

Pada hadits Muslim 1972 (8: 154):

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Banyak sekali orang yang kelihatannya compang-camping (hina di mata masyarakat), tidak diperkenankan memasuki pintu seseorang, tetapi kalau dia berdoa kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan doanya.” (H. R. Muslim)

*******
Ciri utama dari seorang yang harus anda ikuti bukanlah senyumnya, wajahnya yang bersih, dan sebagainya. Mantan presiden kita yang dulu pun wajahnya bersih dan penuh senyum. Fir’aun pun sangat gagah dan tampan. Iblis pun, apakah akan datang ke kita selalu bertanduk, berpakaian api, membawa tombak trisula dan berekor panah? Dia tidak sebodoh itu. Jika penampilannya monoton dan tidak kreatif seperti itu, tentu saja kita akan dengan sangat mudah mengetahui bahwa dia adalah iblis, dan tidak untuk diikuti.

Kekasih ALLAH – Pembimbing Spiritual

*******
Tahukah anda, bahwa kakek berpenyakit kulit, bau dan penuh belatung yang hidup di pinggir pasar tadi sepertiNabi Ayyub aspada zamannya? Tetangga yang membangun perahu di atap rumahnya, ditertawakan dan dibodoh-bodohi masyarakat, posisinya adalah seperti Nuh pada zamannya dahulu.

Panglima 20-an tahun yang sesuka hatinya membantai atau menyiksa, juga mengampuni dan memaafkan, adalah Iskandar Zulqarnayn (Alexander The Great. Red.), seorang yang menyebarkan kebenaran di sepanjang asia, timur tengah hingga eropa. Ia dibebaskan Allah untuk menyiksa ataupun mengampuni sesukanya, (rasanya ini terkait dengan Iradat seorang Hamba yang telah bersatu Iradat dengan Tuhan)

sebagaimana diabadikan dalam QS 18:86,

“..Hai Dzulqarnayn, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.”

Orang tua miskin di gurun adalah Syu’aib as, mursyid dari salah satu nabi terbesar, Musa as, nabi agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. 

Anak muda antisosial, yang pendiam dan kaya mendadak karena menikahi janda tua yang kaya kemudian mengaku bertemu malaikat, adalah Rasulullah SAW. 
Gelandangan bau dan kotor, yang hanya membawa-bawa seruling dan ‘nongkrong’ di pasar, adalah Shamsuddin Tabriz, mursyid dari wali besar Jalaluddin Rumi. Anak muda soleh dan tampan, sangat ukhrawi yang dekat dengan seorang pelacur adalah Nabi Isa as, dan pelacur itu adalah Maria Magdalena.

Coba posisikan diri kita sebagai masyarakat yang ada pada zaman mereka. Mampukah kita melihat kebenaran yang mereka bawa? Percayakah kita, jika kita hidup di zaman itu, bahwa mereka adalah para kekasih Allah, yang bisa menunjukkan pada kita ruas jalan taubat? Akankah kita mengikuti mereka?

Siapakah kita, yang berani menentukan kriteria kekasih Allah? Dia berhak menyukai siapa saja, sesuka-Nya. Mengatur para kekasihNya berpenampilan seperti kehendakNya. Kenapa kita berani mengatur, apalagi dengan standar yang kita buat sendiri, bahwa seorang kekasih Allah pastilah berseri-seri, ramah, selalu tersenyum? Berjubah, atau berjanggut? Pasti hidupnya berhasil secara duniawi maupun ukhrawi?

Alangkah sombongnya kita.
Kita sendirilah yang menciptakan penghalang, filter yang kita ‘bikin-bikin’, sehingga justru menutup kita dari jalan kebenaran. Kita menciptakan ‘waham kesolehan’ sendiri. Waham, ilusi, yang justru dapat menjauhkan kita dari gerbang-Nya. Kita telah tertipu oleh ’standar jaminan mutu kesolehan’ yang dibangun dunia ini.
Belum tentu seorang yang mampu menuntun kita menuju Allah, sesuai dengan kriteria yang kita buat sendiri. Belum tentu. Memang ada para kekasihnya yang berpenampilan seperti yang kita golongkan sebagai ‘yang baik-baik’, tapi ada pula yang sama sekali tidak demikian. Mereka disamarkan-Nya (tasyrif) karena dilindungi Allah. Dilindungi dari para peminta berkah, dari orang-orang yang sedikit sedikit meminta tolong dan bantuan, minta dagangannya laku, minta didoakan supaya dapat jodoh, minta sakitnya disembuhkan, diobati saudaranya yang kesurupan, konsultasi posisi politik, dan segala permintaan tetek bengek lain yang sifatnya ‘menghilangkan derita’ saja, bukan minta dibimbing menuju Allah. Bukan minta diajarkan bertaubat.

Jika semua dibuka dengan mudahnya, bayangkan berapa orang yang datang mengantri setiap saat dengan tujuan tak jelas? Tanpa biaya pula.
Allah pun, dari 99 namanya, terbagi menjadi dua jenis. Yang ‘Jamal’, yang ‘ramah’, yang indah, yang enak kedengarannya. Contohnya adalah Maha Penyayang, Maha pengampun, Maha sabar, dan semacamnya. Tapi Dia juga memiliki nama-nama yang ‘jalal’, yang ‘agung’, yang keras, yang ‘menyeramkan’ dalam sudut pandang kita, seperti Maha Pedih Siksanya, Yang Maha Membalas, Yang Maha Keras, Yang Maha Mengalahkan, Yang Maha Menghinakan, Yang Maha Memaksa, dan sebagainya.

From seorang Pe-JALAN

AKU Adalah Tuhan.. Tapi Tuhan BukanLah Aku !

Siapakah Aku?

Diriku Adalah Dirimu Tapi Aku Bukanlah Engkau!

Yaa Tuhan… alangkah menakjubkan ketika aku hidup, aku tidak tahu dimana Kau berada. Padahal Kaulah yang ADA, tapi mengapa yang ADA menjadi TIDAK ADA, apakah yang ADA itu TIDAK ADA? Ataukah yang TIDAK ADA itu yang ADA? kalau begitu matikan aku biar aku tidak ada sehingga aku mengenal yang ada dan lebur kedalamnya .

Kalau begitu siapa hakikat aku ? Read more of this post

Sedikit kan DOA

Sedikit sedikitlah berdoa, bila perlu tak usah! Itulah saran kontroversial yang bisa saya sampaikan untuk anda. Pada kenyataannya banyak orang yang berdoa tidak meminta, sebaliknya orang yang meminta sesungguhnya telah memanjatkan doanya. Saya cenderung memilih kata ‘pinta’ dibandingkan kata ‘doa’ sebagai sesuatu yang dipanjatkan kehadirat Tuhan. Read more of this post

IMAM AN-NIFFARI : Tentang TAUHID


Allah swt berseru kepada hamba-Nya:

Wahai hamba! Engkau tidak memiliki sesuatu pun, kecuali apa-apa yang telah Aku kehendaki untuk menjadi milikmu. Tidak juga engkau memiliki dirimu sendiri, karena Akulah Penciptanya! Tidak pula engkau sekedar memiliki jasadmu, karena Aku Sang Pembentuknya! Hanya dengan Pertolongan-Ku engkau dapat berdiri, dan dengan Kalimat-Ku engkau hadir di dunia ini.

Wahai hamba, katakanlah “Tiada Tuhan melainkan Allah!”, kemudian tegaklah berdiri di jalan yang benar, maka tiada Tuhan melainkan Aku! Dan tiada pula wujud yang sebenarnya wujud, kecuali untuk-Ku! Segala sesuatu yang selain Aku adalah dari buatan Tangan-Ku dan dari tiupan Ruh-Ku.

Wahai hamba! Segala sesuatu adalah kepunyaan-Ku, bagi-Ku, dan untuk-Ku! Jangan sekali-kali engkau merebut apa yang menjadi kepunyaan-Ku!

Kembalikan segala sesuatu kepada-Ku, niscaya akan Kubuahkan pengembalianmu dengan Tangan-Ku, dan Kutambahkan padanya dengan Kepemurahan-Ku. Serahkan segala sesuatu kepada-Ku, niscaya Kuselamatkan engkau dari segala sesuatu!

Ketahuilah, bahwa hamba-Ku yang terpercaya adalah yang mengembalikan segala sesuatu selain-Ku kepada-Ku! Tengoklah dengan pandangan tajam kepada-Ku, bagaimana cara-Ku melakukan pembagian, niscaya engkau akan melihat pemberian dan penolakan merupakan dua bentuk yang dinamakan, agar dengan demikian engkau dapat mengenal-Ku!

Hai hamba! Sesungguhnya engkau telah melihat Aku sebelum dunia ini terhampar, dan engkau mengenal siapa yang engkau lihat. Dan hanya kepada-Ku lah engkau akan kembali!

Kemudian Aku ciptakan segala sesuatu untukmu, dan Aku labuhkan tirai hijab atasmu, lalu engkau pun terhijab dengan tirai wujudmu sendiri, kemudian Aku menghijab engkau dengan diri-diri yang lain, yang mana diri-diri yang lain itu menyeru kepadamu dan kepada dirinya sendiri, dan kesemuanya itu menjadi hijab terhadap Aku!

Setelah semua hal itu, Aku pun akan kembali Dzahir, dari balik semua itu Aku akan memperkenalkan Diri-Ku. Aku katakan kepadamu, bahwa Aku-lah Sang Khaaliq, Aku-lah yang menciptakan segala sesuatu, dan bahwasanya Aku telah menjadikan engkau sebagai khalifah atas kesemuanya itu. Dan ketahuilah, bahwa semua hal itu hanyalah amanah atasmu, dan diwajibkan atas setiap pengemban amanah untuk mengembalikannya!

Maka telitilah dirimu, setelah engkau mempercayai-Ku, sudahkah engkau mengembalikan segala sesuatu itu kepada-Ku? Sudahkah engkau memenuhi perjanjian yang telah engkau buat dengan-Ku?

Hai hamba! Aku ciptakan segala sesuatu itu untukmu, maka bagaimana Aku akan rela kalau engkau peruntukkan dirimu bagi sesuatu itu! Sesungguhnya Aku melarang engkau untuk menggantungkan dirimu kepada sesuatu itu, karena Aku Maha Pencemburu padamu!

Hai hamba! Aku tidak rela engkau peruntukkan dirimu bagi sesuatu, walau harapanmu akan sorga sekalipun, karena Aku ciptakan engkau hanya untuk-Ku, di sisi yang tiada sisi, dan di mana yang tiada mana!

Aku ciptakan engkau atas pola Citra-Ku, seorang diri, tunggal, mendengar, melihat, berkemauan serta berbicara. Dan Aku jadikan engkau berkemampuan untuk mentajalikan Nama-nama-Ku, dan tempat untuk Pemeliharaan-Ku.

Engakau adalah sasaran Pandang-Ku! Tiada dinding penghalang yang memisahkan antara Aku dan engkau! Engkau adalah kawan duduk semajelis dengan-Ku, maka tiada pembatas antara Aku dan engkau

Hai hamba! Tiada diantara Aku dan engkau, antara. Aku lebih dekat kepadamu dari dirimu sendiri, Aku lebih dekat kepadamu dari ucapan lisanmu, maka pandanglah kepada-Ku, karena Aku senang memandang kepadamu.

 

Dari Al-Mauqif wal Mukhatabah, Imam An-Niffari,
(dikutip dari sebuah catatan dari Zamzam Ahmad Jamaluddin).

Apa Benar Manusia makhluk yang paling sempurna ? (kenali diri, mengenal allah dan Ruh al-Quds)

Mengapa dahulu, pada saat penciptaan manusia, malaikat yang terbuat dari cahaya, bersujud pada Adam yang hanya terbuat dari tanah? Bukankah cahaya lebih mulia dari tanah?

Dalam diri manusia yang telah disempurnakan Allah sebagai manusia sejati(insan kamil) terdapat secuil ‘unsur yang sangat mulia,’ yaitu yang dibahasakan dalam Al Qur’an sebagai ‘Ruhul Quds’. Ruhul Quds bukanlah malaikat Jibril a.s., Jibril disebut sebagai Ruhul Amin, bukan Ruh Al-Quds. Ruh Al-Quds juga dikenal dengan sebutanRuh min Amr, atau Ruh dari Amr Allah (Amr = urusan, tanggung jawab). Dalam agama saudara-saudara dari nasrani, disebut Roh Kudus.

Ruh-Nya atau Ruhul Quds ini bukan dalam pengertian bahwa Allah memiliki ruh yang menghidupkan-Nya seperti kita. Ruh ini merupakan ruh ciptaan-Nya, sebagaimana ruh yang menjadikan diri kita hidup sekarang, namun dalam martabat tertingginya, dalam tingkatannya yang paling agung dan paling dekat kepada Allah.

Setiap ciptaan memiliki ruh. Manusia (ruh insani), tanaman (ruh nabati), hewan (ruh hewani), bahkan benda mati pun memilikinya. Atom-atom dalam benda mati sebenarnya ‘hidup’ dan terus berputar, dan ruh bendawi inilah yang menjadikannya ‘hidup’. Karena itu pula, benda, tumbuhan, hewan, bahkan anggota tubuh kita kelak akan bersaksi mengenai perbuatan kita di dunia ini. Namun demikian, ruh-ruh ini bukanlah ruh dalam martabat tertingginya seperti Ruh Al-Quds.


Ketika Allah berkehendak untuk memperlengkapi diri seorang manusia dengan Ruh Al-Quds, maka inilah yang menyebabkan manusia dikatakan lebih mulia dari makhluk manapun juga.

Perhatikan juga kata ‘Ruh-Ku’ dalam ayat 38:72, yang ditiupkan pada diri Adam saat penciptaannya:

“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya.”. (Q.S. 38:72)

Secuil ‘ruh’-Nya itu hanya diturunkan Allah pada manusia yang telah ‘disempurnakan-Nya’, yang diizinkan-Nya untuk mencapai derajat manusia yang sempurna (insan kamil) saja dan tidak pada semua manusia.

Pada Adam as dan Isa as, dua manusia yang diciptakan-Nya langsung dengan ‘tangan-Nya’ tanpa melalui proses pembuahan, Ruh ilahiyah ‘penyempurna’ ini langsung ‘tertularkan’ ketika mereka diciptakan. Karena itulah, dalam proses penciptaan Adam as, setelah ditiupkannya Ruh-Nya, para malaikat pun sujud kepada Beliau. Sedang pada kita manusia biasa yang tercipta melalui proses alamiah atas kehendak-Nya, juga diberikan perangkat untuk memperolehnya (tepatnya perangkat untuk ‘membuat’ Allah berkenan dan ‘percaya’ untuk menurunkannya pada kita), yaitu qalb, syariat lahir, dan syariat batin.

Dengan demikian, bagi manusia yang belum memiliki ‘unsur’ ini dalam dirinya, sangat wajar jika malaikat tidak akan tunduk padanya, dan dia memang belum layak untuk ‘disujudi’. Contoh saja, jika kita sekarang memerintahkan pada malaikat di samping kita untuk menampakkan dirinya, apakah mereka akan tunduk pada perintah kita itu?

Mengapa para malaikat tunduk pada para Nabi dan orang-orang suci? Karena lewat proses perjuangan penyucian qalb dan diri mereka masing-masing, Allah berkenan menganugerahkan Ruh-Nya tadi kepada orang-orang itu. Bedanya dengan Adam a.s dan Isa a.s, mereka ‘tertular’ Ruh-Nya sejak lahir, karena diciptakan langsung dengan ‘tangan Allah’ (dalam tanda kutip); sedangkan manusia selain mereka, untuk dapat dianugerahi Ruh Al-Quds, harus melewati perjuangan diri. Mereka harus membuktikan pada Allah bahwa mereka layak untuk dianugerahi ‘unsur’ yang paling agung yang bisa didapatkan oleh makhluk ke dalam jiwanya.

Di sisi lain, ada beberapa malaikat yang tidak tunduk kepada mereka yang memiliki Ruh Al-Quds, namun memposisikan dirinya sejajar dengan para Insan Kamil. Mengapa? Karena beberapa malaikat ini juga dianugerahi Ruh Al-Quds oleh Allah. Sebagaimana manusia, tidak semua malaikat memiliki Ruh Al-Quds. Dari para malaikat yang memilikinya, diantaranya adalah para malaikat utama (Archangels): Jibril a.s. (Arch. Gabriel), Mikail a.s. (Arch. Michael), Izrail a.s. (Arch. Uriel), dan Israfil a.s. (Arch. Raphael). Kedudukan mereka diantara para malaikat kurang lebih sama seperti kedudukan para Nabi diantara manusia.

Dalam [2] : 253,

“Rasul-rasul (rasul: pembawa risalah—pen.) itu Kami lebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa mu’jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Quds.” (Q. S. [2] : 253)

Jadi kurang tepat jika kita mengatakan dengan terlalu mudah bahwa manusia, atau kita, adalah makhluk yang paling mulia di alam semesta. Manusia baru menjadi makhluk yang paling mulia jika telah diperangkati Allah dengan ‘unsur’ ini. Jika belum diperangkati dengan unsur ini, bahkan kedudukan manusia bisa lebih rendah dari hewan ternak (lihat Q.S. 25:44).

Penganugerahan Ruh-Nya pada seorang manusia inilah yang secara awam dikatakan sebagai ‘manunggaling kawulo gusti’, atau ‘penyatuan hamba dan Tuhannya’ yang sering dilabelkan pada kaum sufi di seluruh dunia. Padahal yang terjadi sebenarnya, adalah penganugerahan ‘Ruh-Nya’ atau Ruh Al-Quds kepada diri seseorang. Sebagai zat, Allah dan makhluk mustahil menyatu.

Ruh Al-Quds inilah yang membawa penjelasan kemisian seseorang, untuk apa seseorang diciptakan Allah, secara spesifik orang-per-orang. Dengan kehadiran Ruh Al-Quds, seseorang menjadi mengerti misi hidupnya sendiri. Mereka-mereka yang telah dianugerahi Ruh Al-Quds inilah yang disebut sebagai ‘ma’rifat’, dan telah mengenal diri sepenuhnya.

“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu,” kata Rasulullah. Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Rabb-nya. Dengan kehadiran Ruh Al-Quds ke dalam jiwanya, seseorang menjadi mengenal dirinya, mengerti kemisian dirinya, dan mengenal Rabb-nya melalui kehadiran Ruh-Nya itu.

Dengan mengenal dirinya secara sejati, maka mulailah seseorang ber-agama secara sejati pula. “Awaluddiina ma’rifatullah,” kata Ali bin Abi Thalib kwh. Awalnya ad-diin(agama) adalah ma’rifatullah (mengenal Alah). Jadi berbeda dengan pengertian awam bahwa mencapai makrifat adalah tujuan beragama, justru sebaliknya: ma’rifat adalah awalnya beragama, ber-diin dengan sejati.

Saya pribadi percaya bahwa inilah ‘trinitas’ yang dikembalikan oleh Qur’an kepada hakikatnya semula: Allah, Ruh Al-Quds, dan jasad sang Insan Kamil. Pengertian trinitas ini, seiring dengan berjalannya waktu dan jauhnya aliran doktrin dari mata-airnya, perlahan berubah menjadi sesuatu yang abstrak: tiga tetapi satu dan satu tetapi tiga. Namun Rasulullah melaui Qur’an, secara halus mengembalikan khazanah tritunggal ini kepada esensinya: bukan zatnya yang satu sekaligus tiga, tetapi sebenarnya yang terjadi adalah Allah dan Insan Kamil, melalui kehadiran Ruh Al-Quds,telah sepenuhnya selaras dan menjadi satu kehendak. Apapun perbuatan, perilaku dan kehendak seorang Insan Kamil akan sepenuhnya sesuai dengan kehendak Allah. Sedangkan Allah-nya sendiri, sebagai zat, tetap hanya satu. Inilah yang dikembalikan: Allah itu satu, tidak memiliki anak, dan anggota sistem ke-tiga-an itu terpisah, baik secara hakikat maupun zat. Wujudnya satu, bukan tiga.

Siapa saja Insan Kamil itu? Mereka adalah semua orang yang telah dianugerahi AllahRuh Al-Quds ke dalam jiwanya. Semua Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Isa as, dan para orang suci yang ber-maqam rahmaniyah dan rabbaniyah, adalah Insan Kamil.

Ada sebuah hadits dari Rasulullah, ketika Umar melihat dajjal dan bermaksud membunuhnya, Rasulullah mencegah beliau. Rasulullah mengatakan, Umar tidak akan mampu membunuhnya. Yang akan menghadapi dajjal kelak adalah Nabi Isa as di akhir zaman. Kenapa Nabi Isa as, bukan Umar atau bahkan bukan Rasulullah? Karena, walaupun semua orang yang telah dianugerahi Ruh Al-Quds tidak bisa lagi disentuh iblis, hanya Nabi Isa-lah satu-satunya orang yang oleh Allah diberi kehormatan sebagai manusia yang memiliki Ruh Al-Quds sejak hari kelahirannya, bahkan sejak dalam kandungan. Kenapa bukan Adam a.s.? Karena Adam as tidak pernah dilahirkan. Beliau ‘diciptakan’, dijadikan. Menghadapi dajjal adalah hak Nabi Isa a.s.

“Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu ketika Aku menguatkan kamu dengan Ruhul Quds, kamu dapat berbicara dengan manusia ketika masih dalam buaian dan ketika dewasa…”(Q. S. [5] : 110)

Kembali ke persoalan sebelumnya,

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan mereka yang kafir”. (QS. 2:34)

Sujudnya Malaikat kepada Adam, karena dalam diri manusia yang telahdisempurnakan-Nya (Insan Kamil) ada yang disebut ‘Ruh-Ku’ dalam ayat 38:72 tadi. Malaikat —bukan— sujud kepada sifat jasadiyahnya Adam. Malaikat akan sujud kepada siapapun yang dalam dirinya ada pantulan ‘citra’ Allah (yang jelas, fokus, dan tidak blur), yaitu dengan kehadiran Ruh-Nya (Ruh Al-Quds) dalam jiwa seseorang. Iblis tidak mampu melihat ke dalam inti jiwa manusia tempat Ruh Al-Quds disematkan Allah, maka ia melihat Adam tidak lebih dalam dari sekedar tanah yang digunakan sebagai bahan jasadnya, sehingga ia enggan bersujud (perhatikan kata yang dipakai dalam ayat tersebut

Kembali pada ayat:

“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya.”. (Q.S. 38:72)

Jangan ‘sujud’ kepada siapapun yang belum dianugerahi Allah ‘Ruh-Nya’ ke dalam dirinya. Allah hanya memerintahkan ‘sujud’ kepada mereka yang telah disempurnakan-Nya, dan telah dianugerahi Ruh Al-Quds kepada dirinya.

P.S. :

(1) Mereka-mereka yang telah dianugerahi Ruh Al-Quds mempunyai kemewahan yang tiada tara: bisa berdialog (bukan monolog maupun meminta secara sepihak saja) dengan Allah langsung tanpa melalui ‘birokrasi’ malaikati apapun (jelas, karena kedudukannya jadi lebih tinggi dari malaikat). Allah akan berkenan menjawabnya langsung (lihat [2] : 253 di atas). Ia menjadi sahabat-Nya, Kalimullah (orang yang diajak berbicara dengan Allah). Ia menjadi keluarga-Nya (Ahlullah). Demikian pula, karena mustahil ketika seseorang mengenal Allah tidak takjub kepada-Nya, maka Allah-pun akan menjadi sosok yang paling dicintai orang tersebut.

(2) Tahu asal kata ‘Hadits Qudsi’? Kenapa ada perkataan Allah yang bisa disampaikan Nabi, tapi tidak ada dalam Qur’an? Disebut ‘Hadits Qudsi’ karena ucapan-ucapan-Nya itu disampaikan Allah lewat Ruh Al-Quds yang telah dianugerahkan Allah ta’ala kepada orang tersebut.

(3) Plural dari ‘Ruh’ adalah ‘Arwah’. Karena semua Ruh langsung berasal dari Allah dan langsung pula kembali kepada-Nya, maka —TIDAK ADA— yang namanya ‘arwah gentayangan’. Tidak ada roh yang gentayangan, apalagi penasaran. Yang ‘gentayangan’ itu jin, atau bisa juga iblis, mungkin.

 

Catatan : from suluk.blogsome

Doa sayyidina Ali Bin abi thalib R.A

BISMILLAH YA RAHMAN YA RAHIM

“Ya Allah, peliharalah kehormatan wajahku dengan kecukupan. Jangan jatuhkan martabatku dengan kemiskinan, sehingga aku terpaksa mengharapkan rizki dari manusia, yang justru mengharapkan rizki-Mu, atau memohon belas kasihan dari hamba-hambamu yang jahat. Atau tertimpa bala’ sehingga memuji siapa yang memberiku atau mencela siapa yang menolakku. Sedangkan Engkau, Engkaulah yang ada di balik semuanya itu, yang sebenarnya memberi atau menolak. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah yang Mahakuasa atas segala-galanya.

Allahumma, Engkaulah yang paling dekat menghibur para wali-Mu, yang paling menjamin kecukupan bagi siapa saja yang bertawakkal kepada-Mu. Engkau melihat sampai ke lubuk hati mereka, menembus jauh ke dalam nurani mereka. Semua rahasia mereka telanjang dihadapan Engkau, semua bisikan hati mereka mendamba dan mengharap dari-Mu. Bila tersiksa dengan keterasingan, mereka terhibur dengan sebutan-Mu. Dan bila tercurah atas mereka aneka ragam musibah, mereka pun berlindung kepada-Mu. Mereka sungguh-sungguh mengerti bahwa kendali atas segalanya ada di tangan-Mu, sebagaimana pula bahwa segala kemunculannya berasal dari ketentuan-Mu.

Allahumma, bila aku tak mampu mengutarakan permohonanku, atau tak mampu melihat keinginanku, tunjukilah aku sesuatu sejauh yang akan mendatangkan maslahat bagiku. Sebab, itu semua bukanlah hal yang menakjubkan jika ada di antara jalan-jalan hidayah-Mu, bukan pula itu adalah sesuatu yang baru diantara kekuasaan-kekuasaan-Mu.

Allahumma, sikapilah daku dengan ampunan-Mu, dan jangan perlakukan aku dengan keadilan-Mu.”

 

-Doa ali Bin abi thalib R.A , Dari Nahjul balaghah .

Mau mengenal Tuhan ? kenali dulu dirimu

Barangsiapa mengenal diri (sejati)nya, akan mengenal Tuhannya’. Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu. Konon itu kata-kata Baginda Rasulullah SAW (walaupun masih ada banyak perdebatan mengenai siapa sebenarnya yang mengucapkan kata-kata tersebut, tapi di kalangan pejalan ruhani yang pernah mimpi bertemu dengan Baginda Rasul SAW, konon Beliau membenarkan bahwa kata-kata tersebut adalah kata-katanya —red.).

Tapi seberapa susahnya sebenarnya mengenal diri itu? Sebegitu pentingnya kah hal itu sehingga bisa mengantarkan seseorang pada suatu pengenalan yang sungguh agung, sesuatu yang dicita-citakan oleh siapa saja yang percaya, pengenalan akan Tuhan? Bukankah yang disebut “saya” ini ya saya, ya yang ini? Tidakkah kita semua tahu dan kenal diri kita sendiri?

Not so fast, fella. Mari kita resapi kisah berikut ini.

Dalam keadaan sakratul maut, seseorang tiba-tiba merasa berada di depan sebuah gerbang. “Tok, tok, tok,” pintu diketuk.

“Siapa di situ?” ada suara dari dalam.

Lalu dia seru saja, “Saya, Tuan.”

“Siapa kamu?”

“Watung, Tuan.”

“Apakah itu namamu?”

“Benar, Tuan.”

“Aku tidak bertanya namamu. Aku bertanya siapa kamu.”

“Eh, saya anak lurah, Tuan.” Wajahnya mulai plonga-plongo.

“Aku tidak bertanya kamu anak siapa. Aku bertanya siapa kamu.”

“Saya seorang insinyur, Tuan.”

“Aku tidak menanyakan pekerjaanmu. Aku bertanya: siapa kamu?”

Sambil masih plonga-plongo karena nggak tahu mau menjawab apa, akhirnya ditemukanlah jawaban yang rada agamis sedikit.

“Saya seorang Muslim, pengikut Rasulullah SAW.”

“Aku tidak menanyakan agamamu. Aku bertanya siapa kamu.”

“Saya ini manusia, Tuan. Saya setiap Jumat pergi jumatan ke masjid dan saya pernah kasih sedekah. Setiap lebaran, saya juga puasa dan bayar zakat.”

“Aku tidak menanyakan jenismu, atau perbuatanmu. Aku bertanya siapa kamu.”

Akhirnya orang ini pergi melengos keluar, dengan wajah yang masihplonga-plongo.

Dia gagal di pintu pertama, terjegal justru oleh sebuah pertanyaan yang sungguh sederhana: siapa dirinya yang sebenarnya.

Nggak mudah, tho? Coba pikir, kita nggak paham siapa kita, maka kita punya tradisi besar mengasosiasikan sesuatu terhadap diri kita: nama, profesi, titel, jenis kelamin, warna kulit dan rambut, foto wajah (seperti yang di KTP, our identification!). Kita melabeli diri kita dengan sesuatu itu, kita pun nyaman dengan label itu, lalu merasa bahwa label itulah diri kita. Think again: apakah ‘aku’ sama dengan ‘tubuhku’?

Ah, Watung, itu cuma permainan kata!

Mungkin saja. Tapi perhatikanlah kalimat orang-orang agung itu: “Barangsiapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.”

Sampaikan walau Satu Ayat ?

“Orang yang tidak lapar tentu tidak merasa butuh makanan. Orang yang merasa sehat, tentu tidak merasa butuh dokter. Orang yang merasa sudah tahu agama, tentu tidak merasa butuh belajar agama. Orang yang tidak merasa lapar (akan pengetahuan) tentang Allah, tentu tidak akan merasa butuh belajar tentang Allah.”

[TANYA] mengapa para sufi “terkesan” (kesan itu bisa jadi bener bisa jadi salah…) menutup diri dan, memilih2 “murid” dalam memberikan bimbingan… sedangkan kita diwajibkan untuk menyebarkan kebaikan walau hanya 1 ayat… mengapa tidak ber”syiar” seperti para ulama-ulama atau mereka yang mengaku-aku sebagai ulama… hehehehe. Makasih Mas. [Dewo]

[JAWAB] Sebenarnya bukan pilih-pilih murid, sih. Yang terjadi sebenarnya mekanisme natural: bahwa makanan baru bermanfaat jika diberikan kepada orang yang memang lapar atau membutuhkan. Sayang sekali jika kita, sebagai manusia, memberikan makanan kepada yang memang tidak membutuhkan. Bisa dianggurin sampai menjadi busuk, dibuang, atau bahkan membuat muntah yang bersangkutan. Padahal masih banyak sekali orang selain dia yang benar-benar membutuhkan makanan.

Orang yang tidak lapar tentu tidak merasa butuh makanan. Orang yang merasa sehat, tentu tidak merasa butuh dokter. Orang yang merasa sudah tahu agama, tentu tidak merasa butuh belajar agama. Orang yang tidak merasa lapar (akan pengetahuan) tentang Allah, tentu tidak akan merasa butuh belajar tentang Allah.

“Sampaikanlah walau satu ayat,” itu hadits sahih, memang benar sekali. Tapi sampaikan kepada penerima yang tepat (yang memang membutuhkan), dan waktu yang tepat. Kalau di hadapan jendela samping sebuah rumah kita taruh corong toa mesjit dan kita bombardir dengan ceramah, pengajian dan zikir ‘kuenceng-kuenceng’setiap pagi, siang atau sore tanpa henti dengan mengatasnamakan dakwah, bisa jadi sebenarnya kita justru menzalimi penghuni rumah. Siapa tahu di sana ada bayi sakit? Orang tua? Atau suami yang baru pulang kerja dan lelah, sehingga gangguan itu malah membuatnya sensitif dan marah-marah pada anak istrinya.

Selain itu, pada orang-orang yang memang telah menerima tugas dari Allah ta’ala (mengenal diri dan misinya) ada ruang lingkup dakwahnya sendiri, dan Allah sendiri yang menentukan. Tidak semua para peraih kebenaran harus menjadi da’i dan tampil di depan ummat.

Ada yang memang tugasnya menjadi Rasul alam semesta (Muhammad SAW), menjadi rasul bangsa tertentu saja (Musa, Isa as, dll), menjadi mursyid untuk orang tertentu saja, yang muridnya itulah yang justru harus menjadi nabi (Syu’aib as). Ada yang harus menjadi panglima perang (Sa’ad bin Abi Waqqash, Khalid bin Walid). Ada yang harus menyampaikan khazanah ilahiah melalui puisi (Jalaluddin Rumi). Ada yang harus membuat buku (Al-Ghazali). Ada yang harus membuat buku dan menyampaikan ilmu ketuhanan yang rumit dan tidak untuk masyarakat biasa (Ibnu Arabi). Ada yang harus menjadi mursyid dengan penampilan mewah seperti sultan (Syaikh Abdul Qadir Jailani). Ada yang harus terlunta-lunta, sakit kulit dan menggelandang seperti Nabi Ayyub as. Ada pula yang diciptakan untuk kaya raya dan berkuasa seperti Sulaiman a.s.

Banyak sekali ragam tugas dan kemisian, demi menyampaikan—dan menampilkan—suatu Khazanah Ilahiah. Justru jika seorang diciptakan sebagai, misalnya, panglima perang, namun ia malahan tampil di depan podium dan berdakwah dengan cara klasik, ia justru menyalahi kehendak Allah bagi dirinya. Ia menyalahi tujuan penciptaannya.

Bukan berarti orang-orang ini tidak berdakwah. Tapi, apa bentuknya: bicara? berbuat? berfikir? menulis? menyumbang harta? memimpin? Allah yang menentukan. Juga, ruang lingkupnya untuk siapa, untuk ummat-kah, bangsa tertentu kah, orang tertentu kah, atau cukup untuk keluarga, mungkin bahkan cukup hanya untuk dirinya sendiri.

Mereka yang tampil di podium dan berdakwah, atau mereka yang bersurban dan berjubah, tidak berarti mereka menjadi lebih alim, lebih ulama, dan lebih soleh daripada mereka yang tidak tampil di podium dan berpenampilan biasa-biasa saja. Sama sekali tidak. Ukuran kesolehan dan kealiman sama sekali bukan pada tampilan lahiriyah seseorang. Dan, berdakwah untuk ribuan ummat sekaligus belum tentu lebih efektif dan lebih ‘berpahala’ (kalo masih ngitung-ngitung pahala) daripada berdakwah pada beberapa orang saja. Bukan jumlahnya, tapi sejauh jiwa apa orang bisa tertransformasi dengan khazanah Ilahiah yang ada pada diri kita. Walau hanya satu orang.

Kita ingat ayat yang bunyinya,

“Barangsiapa membunuh satu jiwa… maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa menghidupkan satu jiwa, ia bagaikan menghidupkan seluruh jiwa manusia.” (Q. S. Al-Maa’idah [5] : 32)

‘Menghidupkan jiwa’, secara batin juga berarti membebaskan jiwa manusia dari timbunan sifat jasadiyah dan keduniaannya sendiri.

Banyak orang-orang yang dicintai Allah tapi tidak tampil secara terbuka di podium untuk berdakwah, karena memang bukan tugasnya. Dia dimudahkan pada bidang lain, tidak di bidang itu.

Yang terpenting, orang-orang seperti ini tidak berdakwah hanya dengan kata-kata atau sekedar mengutip ayat. Mereka benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan dan lakukan. Juga, mereka berdakwah ‘bil hal’, dengan perbuatan. Tapi yang paling jelas—akhlak, perbuatan maupun khazanah mereka semua sama: Al-Qur’an, Al-Haqq dan kebenaran, meski mulut mereka belum tentu gemar mengutip, mendiktekan maupun ‘berdakwah’ ayat-ayat kepada ummat di depan podium.

Semoga bermanfaat..insya allah

bersumber : suluk

Nyasar Di surga

Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”

“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin  di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”
“Toloong diperjelas…”

“Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho kenapa?”
“Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
“Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”

Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…”

“Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.